Hari itu, Senin tanggal 17 Januari 2008 ToT fasilitator Kab. Sumenep
melaksanakan praktek lapangan di 7 desa. Salah satu desa praktek yaitu Desa
Larangan Perreng Kec. Pragaan. Saya diminta untuk mendampingi peserta pelatihan
(trainee) melakukan pemicuan di desa tersebut. Trainee terdiri dari 5 orang
(sayang saya lupa nama mereka).
Kami tiba di balai desa pukul 09.30 WIB. Setibanya di sana kami langsung
melaksanakan tahapan proses pemicuan. Dusun yang kami jadikan sasaran adalah
Dusun Lembenah. Warga sebenarnya antusias sekali terhadap proses pemicuan dalam
artian tidak ada kevakuman komunikasi antara fasilitator dengan warga. Tapi
sayangnya trainee tidak bias menggiring warga mencapai klimaks sehingga diskusi
hanya adem ayem saja (kurang greget). Saya sendiri sebagai pendamping tidak
ingin mengambil alih jalannya proses karena akan membuat komunikasi antara
warga dengan fasilitator menjadi terputus dan tidak focus yang membuat warga
kebingungan. Akhirnya saya biarkan saja proses itu mengalir.
Setelah transect walk kami kembali ke balai desa untuk melakukan
tahapan pembangunan komitmen warga. Pada saat itu seseorang bernama Sadin
tiba-tiba angkat bicara. Dia adalah alumnus Universitas Trunojoyo tapi tidak
mengaku, bahkan mengaku bahwa ia tidak punya jamban. Dia berusaha memprovokasi
warga. Sebenarnya maksudnya baik, dia ingin memperjuangkan warga agar mendapat
subsidi untuk membangun jamban. Tapi bukankah pemberian subsidi menyalahi
prinsip TSSM ? Para trainee pun langsung terkesiap.
Mereka tidak siap menghadapi serangan Sadin. Akhirnya dengan terpaksa saya
ambil alih jalannya diskusi. Saya menganggap bahwa dengan berteriaknya Sadin
adalah peluang bagus untuk menghidupkan diskusi sehingga warga terbuka
wawasannya sehingga akan mempermudah upaya pembangunan komitmen. Bukankah
konflik tidak untuk dihindari tetapi untuk dikelola ? Terjadi diskusi yang alot.
Sadin : Anda datang
kesini hanya menambah masalah kami saja.
Fasilitator : Bukankah
sebelum kami kesini masalah itu sudah ada ?
Sadin : Ya, tapi
semua perbuatan pasti ada akibatnya.
Fasilitator : Akibat apa
?
Sadin : Memang setelah masyarakat tidak BAB sembarangan akan
ada pihak yang dirugikan. Di desa ini ayam-ayam makan tai manusia. Termasuk
juga ayam saya. Kalau warga BAB di jamban mau makan apa ayam saya ?
(Menggelikan sekali, ternyata Sadin lebih cinta pada ayamnya
daripada warga)
Fasilitator : Tadi dikatakan warga harus BAB di jamban. Saya
menganggap itu solusi dari warga. Dari omongan Pak Sadin saya mau tanya pada
Pak Ustad, apa ada doa BAB di sungai ?
Warga : Ada….!!!!!
Fasilitator : Kalau ada
bagaimana doanya ?
Istri Kades : Ya nggak ada. Anak kecil saja tau. Sudah diajarkan waktu
ngaji. Masak kalah sama anak kecil. Kebersihan itu sebagian dari iman. Ya
caranya dengan BAB di jamban.
Fasilitator : Trima kasih Bu Kalebun atas masukannya. Bagaimana dengan
warga lain ? Tadi kami sudah mengatakan bahwa jika BAB sembarangan adalah
masalah bersama, bagaimana cara mengatasinya ? Apakah warga akan membiarkan
saja dan tidak mau berubah ? Jika ingin berubah, bagaimana caranya ? Kami
kesini tidak membawa subsidi. Kami kesini hanya untuk belajar bagaimana keadaan
warga, lingkungan dan kesehatan masyarakat di desa ini. Termasuk bagaimana cara
warga mengatasi masalah kesehatannya. Semuanya itu kembali pada warga. Kami
tidak berhak memberikan jalan keluar karena kami kesini hanya untuk belajar.
Setelah diskusi itu warga masih belum berkomitmen untuk ODF.
Akhirnya kami mohon diri dan meminta perwakilan warga untuk hadir keesokan
harinya di Gedung PKK, tempat pelatihan dilaksanakan.
Keesokan harinya, Jumat tgl 18 Januari 2008 dilaksanakan kompetisi
desa yang sudah dipicu pada saat praktek kemarin. Hari ini juga merupakan hari
terakhir pelatihan. Ada
7 kelompok yang merupakan perwakilan dari 7 desa. Saat itu terjadi sharing dan
provokasi antar desa. Tetapi pada hari itu Desa Larangan Perreng belum
berkomitmen untuk ODF. Jika meminjam istilah Kamal Kar, reaksi warga pada
pemicuan kemarin seperti korek api basah. Hari ini pun korek api itu masih
basah.
Satu minggu kemudian, ketika saya sudah kembali ke Bangkalan, tempat
saya bertugas, saya mendapat kabar dari Sdr. Fathoni (DF Sumenep) bahwa sudah
ada 15 orang yang membangun jamban di Desa Larangan Perreng. Kabar yang cukup
menggembirakan tentunya.
Tepat satu bulan setelah pemicuan, tepatnya tanggal 17 Februari
2008, saya ikut tim regional melakukan monitoring. Dan hasilnya sangat
mencengangkan sekaligus menggembirakan. Dusun Lembenah sudah hamper ODF.
Benar-benar gerakan yang cepat sekali. Yang juga mengejutkan, Sadin yang
tadinya provokator berubah menjadi promoter. Meskipun dengan berat hati ia
harus mengorbankan ayam-ayamnya. Warga termiskin di desa ini sudah membuat
jamban dan dijadikan pemicu bagi warga yang lain.
Satu bulan kemudian, tanggal 18 Maret 2008, saya ikut lagi dalam
kegiatan monitoring. Desa Larangan Perreng sudah bersiap-siap menuju ODF desa.
Bahkan warga menganggap bahwa dengan mempunyai jamban mereka merasa kaya.
Mereka menganggap bahwa jamban adalah investasi. Monitoring ini diikuti oleh
Dinkes, Infokom dan LSM Insani. Bapak Tajul Arifin dari LSM Insani merasa
takjub, bagaimana mungkin pergerakan bias secepat ini padahal non subsidi ?
Beliau yang sering menangani program pemberdayaan, misalnya P2KP seringkali
kesulitan karena kesadaran masyarakat baru muncul setelah berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun. Padahal program itu menyediakan subsidi. Jangankan Pak Tajul,
kami yang bertindak sebagai fasilitator TSSM saja merasa terheran-heran, tidak
menyangka hasilnya akan seperti ini. Warga yang tadinya tidak merespon berubah
menjadi suatu gerakan cepat yang kalau boleh saya bilang, ini gerakan revolusi
karena dilakukan secara serentak dalam waktu singkat. Korek api yang basah itu
sekarang sudah mengering, menjadi percikan dan bersiap-siap membakar POM
Bensin.
0 komentar:
Posting Komentar