Senin, 04 Maret 2013

Kisah Pak Jumbleng



Kecamatan Proppo merupakan salah satu lokasi pelaksanaan Program SToPS di Kab. Pamekasan. Di kecamatan tersebut terdapat 4 desa sasaran, yaitu : Desa Pangbatok, Desa Candiburung, Desa Badung dan Desa Klampar. Kecamatan Proppo juga merupakan salah satu wilayah Proyek WSLIC-2.



Bapak Syaiful Mustajab. Beliau adalah salah seorang fasilitator terbaik yang dimiliki Kab. Pamekasan. Beliau aktif dalam pelaksanaan program, mulai dari proses trigerring hingga monitoring. Ketika diminta oleh pihak Dinkes Kab. Pamekasan untuk mencari desa termudah sebagai lokasi sasaran, beliau malah memilih desa yang tersulit. Harapannya jika desa yang tersulit itu ODF, maka desa-desa yang lain akan lebih mudah penanganannya sehingga status ODF lebih cepat menular.



Jika dibandingkan dengan keterlibatannya dalam Proyek WSLIC-2, beliau merasa lebih enjoy melaksanakan Program SToPS. Karena beliau merasa sebagai ujung tombak, merasa dibutuhkan dan merasa dihargai, sehingga beliau lebih all out melaksanakan tugasnya. Karena seringnya melakukan monitoring SToPS di desa, Pak Syaiful Mustajab mendapatkan nama baru dari masyarakat, yaitu : “Pak Jumbleng”. Rupanya warga lebih familiar dengan nama tersebut.



Menurut banyak orang, nama adalah doa. Seseorang diharapkan memiliki sifat sesuai dengan namanya. Tetapi dengan nama baru Pak Jumbleng, tentunya nama itu tidak bisa diartikan secara harfiah, karena nama tersebut mengandung konotasi negative, yaitu : lubang tai. Akan lebih bijak jika nama baru itu kita resapi maknanya. Apabila dikaitkan dengan doa, tentunya kita berharap dengan menyebut nama Pak Jumbleng masyarakat selalu ingat untuk merubah perilaku BAB mereka menjadi lebih sehat dan higienis.



Seandainya dalam masyarakat kita muncul figure-figur pejuang seperti Pak Syaiful Mustajab alias pak Jumbleng, tentu tugas kita untuk merubah perilaku warga akan jauh lebih ringan. Meskipun pejuang-pejuang tersebut harus rela mendapatkan nama baru. Seperti Pak Jumbleng.

Sumenep Menapaki Tangga Ketiga



Bagi sebagian orang, pencapaian status ODF merupakan hal yang tidak perlu ditindaklanjuti. Tampak dari komentar beberapa sanitarian dan kader desa, “Setelah ODF kita perlu melakukan apa ? Apa yang perlu dimonitor ? Kan sudah ODF !”. Hal itu, menunjukkan, ternyata masih banyak juga yang belum memahami dan menjiwai peran monitoring dalam keberhasilan suatu program. Padahal , salah satu sifat dasar manusia yang tidak pernah puas, maka monitoring mutlak dilakukan, secara terus menerus.  Apalagi jika kita benar-benar ingin serius dalam STBM. 

Ada 4 tangga yang semestinya dilalui. Keempat tangga tersebut yaitu : pertama, masyarakat masih OD. Kedua,  semua masyarakat telah BAB hanya di jamban sehat (ODF), Ketiga, masyarakat mengadopsi sanitasi yang lebih baik (Improved sanitation) dan tangga keempat atau terakhir yaitu Sanitasi Total.


Sifat dasar manusia yang tidak pernah puas tercermin dalam perilaku warga Sumenep. Termasuk dalam urusan BAB. Beberapa warga di komunitas ODF mulai meningkatkan akses sanitasinya. Masyarakat yang mengakses jamban sharing beberapa di antaranya mulai membangun jamban sendiri. Beberapa warga yang mengakses jamban cemplung mulai meningkatkan kualitas sarana yang dimiliki dengan membangun jamban leher angsa (WC).

Kondisi ini terjadi di beberapa desa di Kabupaten Sumenep. Desa-desa tersebut antara lain : Desa Larangan Perreng (Dusun Sumber Gentong), Desa Sentol Laok (Dusun Lembanah), Desa Pragaan Laok (Dusun Aeng Soka, Maronggi Laok dan Mornangka), Desa Pragaan Daja (Dusun Dung Daja), Desa Kaduara Timur (Dusun Pesisir). Semuanya di Kecamatan Pragaan. Di Kecamatan Bluto,  kondisi ini dapat ditemui di Dusun Barat Leke Desa Errabu.

Kenyataan tersebut ditunjukkan oleh data peningkatan akses sanitasi Program SToPS bulan Maret 2010. Meskipun peningkatannya cukup kecil, yaitu 1-3 unit WC, tentu hal ini merupakan awal yang baik bagi kesinambungan pelaksanaan program di level masyarakat. Terbukti setiap bulan hampir selalu ada peningkatan jumlah WC. Tentu saja peningkatan tersebut bukan hanya dalam hal jumlah, tetapi juga diikuti oleh akses warga pemilik WC. Dengan kata lain kita tidak perlu khawatir WC baru tersebut hanya dijadikan monument semata. Karena pemilik WC telah benar-benar sadar akan pentingnya jamban. Mereka mulai menganggap jamban adalah suatu kebutuhan primer.

Selain alasan itu, warga yang membangun WC merasa malu jika terus menerus numpang BAB ke WC tetangganya. Ada juga warga yang merasa lebih nyaman jika BAB di WC karena takut jamban cemplung yang dimiliki ambrol, cepat penuh dan bau. Pada umumnya warga yang takut jamban cemplungnya cepat penuh memiliki anggota keluarga yang cukup banyak (7-8 jiwa). Warga tersebut malas jika harus menggali dan menggali lagi.

Keinginan warga tersebut diperkuat oleh akses air bersih yang cukup mudah. Beberapa dusun di antaranya terlayani oleh Proyek WSLIC-2. Kondisi air tanah yang dalam juga mendukung peningkatan kualitas jamban. Budaya gotong royong masih cukup kental dalam kehidupan bermasyarakat. Warga tidak merasa gengsi untuk membeli kloset seharga Rp. 20.000,-. Kloset jenis ini dibeli di toko material di pusat Kecamatan Pragaan atau di Kabupaten Pamekasan. Jarak antara Pragaan dan Pamekasan sendiri relative dekat, karena merupakan perbatasan antara Kabupaten Sumenep dan Kabupaten Pamekasan. Hanya membutuhkan waktu 15-30 menit saja. Jasa tukang bangunan bisa didapatkan  dengan mudah di setiap dusun. Beberapa di antaranya (57 orang) telah mengikuti pelatihan tukang sanitasi yang diadakan oleh ITS Surabaya pada tanggal 8 sampai 10 Juni 2009.

Peran perangkat desa, tokoh agama dan tokoh masyarakat cukup besar dalam menggerakkan warga. Dalam budaya masyarakat agamis di wilayah Madura, tokoh agama merupakan figure panutan di masyarakat. Kata-kata tokoh agama ibarat undang-undang bagi masyarakat. Faktor pendukung lainnya yaitu pendapatan warga yang meningkat ketika musim panen. Sebagian warga bekerja sebagai petani dan buruh tani.

Kecamatan Pragaan juga merupakan daerah penghasil buah naga. Kecamatan Bluto sendiri sedang dikembangkan oleh pemerintah setempat sebagai sentra produksi batik tulis. Tentunya potensi tersebut diharapkan mampu berperan dalam peningkatan kualitas sarana sanitasi masyarakat.

Sayangnya, peningkatan kualitas yang terpantau sangat kecil. Hal inii disebabkan karena system monitoring yang belum terlembaga. Kegiatan monitoring masih bertumpu pada fasilitator desa yang tergabung dalam tim monitoring kecamatan. Fasilitator desa belum mempunyai wadah untuk menginformasikan perkembangan secara kontinyu.             

Hal ini disebabkan mutasi sanitarian puskesmas. Idealnya, sanitarian dapat mengalirkan data dari desa ke kecamatan dan kabupaten. Tetapi karena kurang memahami program maka aliran data menjadi macet. Sementara itu, Jarak antara desa dengan kabupaten dirasakan cukup jauh oleh fasilitator desa. Tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk insentif fasilitator desa pada APBD 2009 dan 2010. Tentu saja hal ini cukup memberatkan mereka karena mereka juga harus memantau desa yang bukan merupakan wilayah asal. Tidak semua desa memiliki fasilitator. Akibatnya, monitoring berjalan tersendat-sendat. Padahal jika monitoring berjalan lancar dan terlembaga, pasti banyak sekali perkembangan yang terekam di level masyarakat. Karena fasilitator tidak hanya sekedar melakukan monitoring saja, tetapi sekaligus melakukan verifikasi ODF.

Jika potensi fasilitator desa dikembangkan berikut dengan potensi-potensi lain yang ada di masyarakat dan kabupaten, tentunya akan membawa dampak yang luar biasa. Sumenep sudah memiliki bekal yang cukup, tinggal bagaimana para pemangku kebijakan berkomitmen untuk memoles potensi-potensi yang ada. Saat ini pergerakan di masyarakat masih berlangsung demikian hebatnya. Kita tunggu saja kabar baik berikutnya . Bravo STBM Sumenep !!!

Sumenep, April 2010

Minggu, 03 Maret 2013

Korek Api Itu Sudah Mengering



Hari itu, Senin tanggal 17 Januari 2008 ToT fasilitator Kab. Sumenep melaksanakan praktek lapangan di 7 desa. Salah satu desa praktek yaitu Desa Larangan Perreng Kec. Pragaan. Saya diminta untuk mendampingi peserta pelatihan (trainee) melakukan pemicuan di desa tersebut. Trainee terdiri dari 5 orang (sayang saya lupa nama mereka).

Kami tiba di balai desa pukul 09.30 WIB. Setibanya di sana kami langsung melaksanakan tahapan proses pemicuan. Dusun yang kami jadikan sasaran adalah Dusun Lembenah. Warga sebenarnya antusias sekali terhadap proses pemicuan dalam artian tidak ada kevakuman komunikasi antara fasilitator dengan warga. Tapi sayangnya trainee tidak bias menggiring warga mencapai klimaks sehingga diskusi hanya adem ayem saja (kurang greget). Saya sendiri sebagai pendamping tidak ingin mengambil alih jalannya proses karena akan membuat komunikasi antara warga dengan fasilitator menjadi terputus dan tidak focus yang membuat warga kebingungan. Akhirnya saya biarkan saja proses itu mengalir.

Setelah transect walk kami kembali ke balai desa untuk melakukan tahapan pembangunan komitmen warga. Pada saat itu seseorang bernama Sadin tiba-tiba angkat bicara. Dia adalah alumnus Universitas Trunojoyo tapi tidak mengaku, bahkan mengaku bahwa ia tidak punya jamban. Dia berusaha memprovokasi warga. Sebenarnya maksudnya baik, dia ingin memperjuangkan warga agar mendapat subsidi untuk membangun jamban. Tapi bukankah pemberian subsidi menyalahi prinsip TSSM ? Para trainee pun langsung terkesiap. Mereka tidak siap menghadapi serangan Sadin. Akhirnya dengan terpaksa saya ambil alih jalannya diskusi. Saya menganggap bahwa dengan berteriaknya Sadin adalah peluang bagus untuk menghidupkan diskusi sehingga warga terbuka wawasannya sehingga akan mempermudah upaya pembangunan komitmen. Bukankah konflik tidak untuk dihindari tetapi untuk dikelola ? Terjadi diskusi yang alot.

Sadin            : Anda datang kesini hanya menambah masalah kami saja.
Fasilitator      : Bukankah sebelum kami kesini masalah itu sudah ada ?
Sadin            : Ya, tapi semua perbuatan pasti ada akibatnya.
Fasilitator      : Akibat apa ?
Sadin           : Memang setelah masyarakat tidak BAB sembarangan akan ada pihak yang dirugikan. Di desa ini ayam-ayam makan tai manusia. Termasuk juga ayam saya. Kalau warga BAB di jamban mau makan apa ayam saya ?
(Menggelikan sekali, ternyata Sadin lebih cinta pada ayamnya daripada warga)

Fasilitator   : Tadi dikatakan warga harus BAB di jamban. Saya menganggap itu solusi dari warga. Dari omongan Pak Sadin saya mau tanya pada Pak Ustad, apa ada doa BAB di sungai ?
Warga          : Ada….!!!!!
Fasilitator        : Kalau ada bagaimana doanya ?
Istri Kades      : Ya nggak ada. Anak kecil saja tau. Sudah diajarkan waktu ngaji. Masak kalah sama anak kecil. Kebersihan itu sebagian dari iman. Ya caranya dengan BAB di jamban.
Fasilitator        : Trima kasih Bu Kalebun atas masukannya. Bagaimana dengan warga lain ? Tadi kami sudah mengatakan bahwa jika BAB sembarangan adalah masalah bersama, bagaimana cara mengatasinya ? Apakah warga akan membiarkan saja dan tidak mau berubah ? Jika ingin berubah, bagaimana caranya ? Kami kesini tidak membawa subsidi. Kami kesini hanya untuk belajar bagaimana keadaan warga, lingkungan dan kesehatan masyarakat di desa ini. Termasuk bagaimana cara warga mengatasi masalah kesehatannya. Semuanya itu kembali pada warga. Kami tidak berhak memberikan jalan keluar karena kami kesini hanya untuk belajar.

Setelah diskusi itu warga masih belum berkomitmen untuk ODF. Akhirnya kami mohon diri dan meminta perwakilan warga untuk hadir keesokan harinya di Gedung PKK, tempat pelatihan dilaksanakan.

Keesokan harinya, Jumat tgl 18 Januari 2008 dilaksanakan kompetisi desa yang sudah dipicu pada saat praktek kemarin. Hari ini juga merupakan hari terakhir pelatihan. Ada 7 kelompok yang merupakan perwakilan dari 7 desa. Saat itu terjadi sharing dan provokasi antar desa. Tetapi pada hari itu Desa Larangan Perreng belum berkomitmen untuk ODF. Jika meminjam istilah Kamal Kar, reaksi warga pada pemicuan kemarin seperti korek api basah. Hari ini pun korek api itu masih basah.

Satu minggu kemudian, ketika saya sudah kembali ke Bangkalan, tempat saya bertugas, saya mendapat kabar dari Sdr. Fathoni (DF Sumenep) bahwa sudah ada 15 orang yang membangun jamban di Desa Larangan Perreng. Kabar yang cukup menggembirakan tentunya.

Tepat satu bulan setelah pemicuan, tepatnya tanggal 17 Februari 2008, saya ikut tim regional melakukan monitoring. Dan hasilnya sangat mencengangkan sekaligus menggembirakan. Dusun Lembenah sudah hamper ODF. Benar-benar gerakan yang cepat sekali. Yang juga mengejutkan, Sadin yang tadinya provokator berubah menjadi promoter. Meskipun dengan berat hati ia harus mengorbankan ayam-ayamnya. Warga termiskin di desa ini sudah membuat jamban dan dijadikan pemicu bagi warga yang lain.

Satu bulan kemudian, tanggal 18 Maret 2008, saya ikut lagi dalam kegiatan monitoring. Desa Larangan Perreng sudah bersiap-siap menuju ODF desa. Bahkan warga menganggap bahwa dengan mempunyai jamban mereka merasa kaya. Mereka menganggap bahwa jamban adalah investasi. Monitoring ini diikuti oleh Dinkes, Infokom dan LSM Insani. Bapak Tajul Arifin dari LSM Insani merasa takjub, bagaimana mungkin pergerakan bias secepat ini padahal non subsidi ? Beliau yang sering menangani program pemberdayaan, misalnya P2KP seringkali kesulitan karena kesadaran masyarakat baru muncul setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Padahal program itu menyediakan subsidi. Jangankan Pak Tajul, kami yang bertindak sebagai fasilitator TSSM saja merasa terheran-heran, tidak menyangka hasilnya akan seperti ini. Warga yang tadinya tidak merespon berubah menjadi suatu gerakan cepat yang kalau boleh saya bilang, ini gerakan revolusi karena dilakukan secara serentak dalam waktu singkat. Korek api yang basah itu sekarang sudah mengering, menjadi percikan dan bersiap-siap membakar POM Bensin.