Senin, 04 Maret 2013

Sumenep Menapaki Tangga Ketiga



Bagi sebagian orang, pencapaian status ODF merupakan hal yang tidak perlu ditindaklanjuti. Tampak dari komentar beberapa sanitarian dan kader desa, “Setelah ODF kita perlu melakukan apa ? Apa yang perlu dimonitor ? Kan sudah ODF !”. Hal itu, menunjukkan, ternyata masih banyak juga yang belum memahami dan menjiwai peran monitoring dalam keberhasilan suatu program. Padahal , salah satu sifat dasar manusia yang tidak pernah puas, maka monitoring mutlak dilakukan, secara terus menerus.  Apalagi jika kita benar-benar ingin serius dalam STBM. 

Ada 4 tangga yang semestinya dilalui. Keempat tangga tersebut yaitu : pertama, masyarakat masih OD. Kedua,  semua masyarakat telah BAB hanya di jamban sehat (ODF), Ketiga, masyarakat mengadopsi sanitasi yang lebih baik (Improved sanitation) dan tangga keempat atau terakhir yaitu Sanitasi Total.


Sifat dasar manusia yang tidak pernah puas tercermin dalam perilaku warga Sumenep. Termasuk dalam urusan BAB. Beberapa warga di komunitas ODF mulai meningkatkan akses sanitasinya. Masyarakat yang mengakses jamban sharing beberapa di antaranya mulai membangun jamban sendiri. Beberapa warga yang mengakses jamban cemplung mulai meningkatkan kualitas sarana yang dimiliki dengan membangun jamban leher angsa (WC).

Kondisi ini terjadi di beberapa desa di Kabupaten Sumenep. Desa-desa tersebut antara lain : Desa Larangan Perreng (Dusun Sumber Gentong), Desa Sentol Laok (Dusun Lembanah), Desa Pragaan Laok (Dusun Aeng Soka, Maronggi Laok dan Mornangka), Desa Pragaan Daja (Dusun Dung Daja), Desa Kaduara Timur (Dusun Pesisir). Semuanya di Kecamatan Pragaan. Di Kecamatan Bluto,  kondisi ini dapat ditemui di Dusun Barat Leke Desa Errabu.

Kenyataan tersebut ditunjukkan oleh data peningkatan akses sanitasi Program SToPS bulan Maret 2010. Meskipun peningkatannya cukup kecil, yaitu 1-3 unit WC, tentu hal ini merupakan awal yang baik bagi kesinambungan pelaksanaan program di level masyarakat. Terbukti setiap bulan hampir selalu ada peningkatan jumlah WC. Tentu saja peningkatan tersebut bukan hanya dalam hal jumlah, tetapi juga diikuti oleh akses warga pemilik WC. Dengan kata lain kita tidak perlu khawatir WC baru tersebut hanya dijadikan monument semata. Karena pemilik WC telah benar-benar sadar akan pentingnya jamban. Mereka mulai menganggap jamban adalah suatu kebutuhan primer.

Selain alasan itu, warga yang membangun WC merasa malu jika terus menerus numpang BAB ke WC tetangganya. Ada juga warga yang merasa lebih nyaman jika BAB di WC karena takut jamban cemplung yang dimiliki ambrol, cepat penuh dan bau. Pada umumnya warga yang takut jamban cemplungnya cepat penuh memiliki anggota keluarga yang cukup banyak (7-8 jiwa). Warga tersebut malas jika harus menggali dan menggali lagi.

Keinginan warga tersebut diperkuat oleh akses air bersih yang cukup mudah. Beberapa dusun di antaranya terlayani oleh Proyek WSLIC-2. Kondisi air tanah yang dalam juga mendukung peningkatan kualitas jamban. Budaya gotong royong masih cukup kental dalam kehidupan bermasyarakat. Warga tidak merasa gengsi untuk membeli kloset seharga Rp. 20.000,-. Kloset jenis ini dibeli di toko material di pusat Kecamatan Pragaan atau di Kabupaten Pamekasan. Jarak antara Pragaan dan Pamekasan sendiri relative dekat, karena merupakan perbatasan antara Kabupaten Sumenep dan Kabupaten Pamekasan. Hanya membutuhkan waktu 15-30 menit saja. Jasa tukang bangunan bisa didapatkan  dengan mudah di setiap dusun. Beberapa di antaranya (57 orang) telah mengikuti pelatihan tukang sanitasi yang diadakan oleh ITS Surabaya pada tanggal 8 sampai 10 Juni 2009.

Peran perangkat desa, tokoh agama dan tokoh masyarakat cukup besar dalam menggerakkan warga. Dalam budaya masyarakat agamis di wilayah Madura, tokoh agama merupakan figure panutan di masyarakat. Kata-kata tokoh agama ibarat undang-undang bagi masyarakat. Faktor pendukung lainnya yaitu pendapatan warga yang meningkat ketika musim panen. Sebagian warga bekerja sebagai petani dan buruh tani.

Kecamatan Pragaan juga merupakan daerah penghasil buah naga. Kecamatan Bluto sendiri sedang dikembangkan oleh pemerintah setempat sebagai sentra produksi batik tulis. Tentunya potensi tersebut diharapkan mampu berperan dalam peningkatan kualitas sarana sanitasi masyarakat.

Sayangnya, peningkatan kualitas yang terpantau sangat kecil. Hal inii disebabkan karena system monitoring yang belum terlembaga. Kegiatan monitoring masih bertumpu pada fasilitator desa yang tergabung dalam tim monitoring kecamatan. Fasilitator desa belum mempunyai wadah untuk menginformasikan perkembangan secara kontinyu.             

Hal ini disebabkan mutasi sanitarian puskesmas. Idealnya, sanitarian dapat mengalirkan data dari desa ke kecamatan dan kabupaten. Tetapi karena kurang memahami program maka aliran data menjadi macet. Sementara itu, Jarak antara desa dengan kabupaten dirasakan cukup jauh oleh fasilitator desa. Tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk insentif fasilitator desa pada APBD 2009 dan 2010. Tentu saja hal ini cukup memberatkan mereka karena mereka juga harus memantau desa yang bukan merupakan wilayah asal. Tidak semua desa memiliki fasilitator. Akibatnya, monitoring berjalan tersendat-sendat. Padahal jika monitoring berjalan lancar dan terlembaga, pasti banyak sekali perkembangan yang terekam di level masyarakat. Karena fasilitator tidak hanya sekedar melakukan monitoring saja, tetapi sekaligus melakukan verifikasi ODF.

Jika potensi fasilitator desa dikembangkan berikut dengan potensi-potensi lain yang ada di masyarakat dan kabupaten, tentunya akan membawa dampak yang luar biasa. Sumenep sudah memiliki bekal yang cukup, tinggal bagaimana para pemangku kebijakan berkomitmen untuk memoles potensi-potensi yang ada. Saat ini pergerakan di masyarakat masih berlangsung demikian hebatnya. Kita tunggu saja kabar baik berikutnya . Bravo STBM Sumenep !!!

Sumenep, April 2010

0 komentar:

Posting Komentar