Kamis, 05 September 2013

PEJUANG SANITASI dari PELOSOK BALI



Ni Made Desi Suarmini atau yang akrab disapa dengan nama Desi adalah seorang sanitarian yang bertugas di Puskesmas Kubu II Kab. Karangasem Prop. Bali. Wilayah kerjanya terdiri dari 4 desa yang terletak di ujung sebelah timur laut Pulau Bali. Desi bertugas di Puskesmas ini sejak tahun 1999. Bukan waktu yang singkat. Sebagai seorang sanitarian, sudah menjadi kewajibannya untuk membina masyarakat agar menerapkan PHBS. Sepanjang karirnya sebagai sanitarian, sudah berbagai cara ditempuhnya. Sebelum tahun 2011, berbagai penyuluhan sering dilakukannya baik pada kelompok maupun perorangan melalui kunjungan rumah. Tetapi semua usahanya gagal. Tidak ada warga yang mau berubah perilaku. Warga merasa nyaman-nyaman saja dengan kondisi lingkungannya yang kotor dan bau. Masalah ekonomi selalu menjadi alasan mereka untuk tetap pada kebiasaannya.


Berkali-kali Gagal
Hingga tahun 2011, Desi mulai menerapkan STBM dengan metode CLTS untuk memicu warga.  Pengalaman pertamanya memicu adalah di salah satu dusun di Desa Ban. Namun tidak berhasil. Hingga akhirnya seluruh warga yang tidak memiliki jamban di Dusun tersebut mendapat subsidi jamban. Berbagai penolakan dia alami hingga akhirnya Yayasan Verein Zukunft für Kinder (VZK) mengajaknya untuk memicu di Kelompok Cangkeng Dusun Muntigunung Desa Tianyar Barat Kec. Kubu. Pemicuan ini merupakan pilot program STBM yang dijalankan yayasan tersebut. Mengapa hanya memicu kelompok ? Karena jumlah penduduk di dusun ini sangat banyak, sekitar 1200 KK, dengan komunitas yang menyebar. Awalnya Desi tidak yakin akan berhasil meskipun harapan akan keberhasilan itu tetap besar. Ternyata hal yang tidak biasa dia alami. Pemicuan itu berhasil dan menunjukkan progress yang bagus dari minggu ke minggu sehingga membuatnya semangat lagi. Dari yang 31 KK tanpa akses jamban. Hingga kemudian satu per satu warga membangun dan menggunakan jamban cemplung tertutup dan leher angsa.
Sadar bahwa pemicuan saja tidak cukup, Desi tekun melakukan pemantauan. Pendekatan pribadi dia lakukan melalui kunjungan ke rumah warga.  Menurutnya perencanaan yang matang perlu diterapkan. Perlu mengidentifikasi natural leader yang tepat agar warga termotivasi dari tetangganya sendiri. Kesabaran menjadi kunci dalam memotivasi warga. Seringkali warga tidak menepati komitmennya untuk berubah. Untuk itu perlu dilakukan kunjungan kembali untuk mengingatkan mereka. Sekalipun berhasil memicu, namun adakalanya Desi merasa kehabisan kata-kata. Yaitu ketika warga merasa pasrah akan keadaan dan terkesan tidak peduli dengan keadaannya. Dukungan dari banyak pihak membuat semangatnya kembali. Dukungan dari Kepala Puskesmas dan sesama petugas, Dinkes Karangasem, Kepala Desa hingga Camat mengiringi semangatnya. Mulai dari support moral, kunjungan Dinkes dan Camat ke wilayah intervensi hingga penganggaran dana BOK.






Sanitarian Teladan Prop. Bali 2012
Dengan mengangkat tema STBM dalam karya tulis, Desi Suarmini berhasil menyabet gelar Sanitarian Teladan tingkat propinsi tahun ini. Tema tersebut dipilihnya karena menarik dengan metode baru yang lain dari yang lain. Hasilnya pun bisa dilihat dalam waktu yang relatif singkat jika dibandingkan dengan metode konservatif seperti penyuluhan. Mengubah perilaku sulit dilakukan tetapi bukan hal yang tidak mungkin. Tema ini berhasil memikat para juri dalam penilaian di lapangan. Menurut juri, Desi lebih unggul dibanding peserta yang lain karena tema tersebut dirasakan lebih nyata dibandingkan tema yang lain. Dengan diraihnya gelar tersebut, pejuang sanitasi ini berhak mengikuti pemilihan di tingkat nasional.
Sebagai penggiat STBM, Desi berharap dengan adanya pendekatan  ini masalah ekonomi  dan pengetahuan masyarakat yang rendah bukan alasan lagi bagi mereka untuk hidup dilingkungan yang tidak saniter. Karena di wilayah sesulit Muntigunung, masyarakat bisa berubah, apalagi di wilayah dengan kondisi geografis yang lebih baik.
Untuk rencana kedepan, Desi ingin melakukan pengelolaan terhadap semua sampah rumah tangga di wilayah kerjanya. Pada tahap awal dijalin kerjasama dengan DKP untuk pengelolaan sampah plastic. Saat ini dilakukan penjajakan terhadap sekolah dan pasar agar mereka mau memilah sampahnya untuk kemudian diangkut oleh pengumpul sampah yang direkrut. Desi berharap dalam jangka panjang semua masyarakat akan melakukan pengelolaan yang sama. Rencana selanjutnya Desi berharap bisa melakukan pegolahan terhadap sampah organik menjadi sesuatu yang berguna, misalnya kompos. Desi memang akan selalu berinovasi dan menghidupkan kegiatan sanitasi. Sesuai semboyan hidupnya “Lakukan yang terbaik hari ini !!!”.

Contact Person :
Ni Made Desi Suarmini
Mobile : 08123889490
Email : smadedesi@yahoo.com

CLTS BUKAN MAGIC



CLTS adalah metode pendekatan yang digunakan dalam STBM. Berdasarkan pengalaman di lapangan, CLTS sangat ampuh dalam mengubah perilaku masyarakat. Bukan dengan menyuluh, apalagi menggurui masyarakat. Namun dengan memicu tumbuhnya perasaan-perasaan tertentu dari masyarakat. Pemicuan tidak serta merta mampu mengubah perilaku masyarakat. Perlu upaya-upaya tindak lanjut untuk menggerakkan masyarakat dan menjaga semangat masyarakat tetap menyala. Upaya yang dimaksud adalah terkait penguatan komponen supply maupun penciptaan lingkungan yang kondusif.
Pemicuan merupakan suatu rangkaian proses. Mulai dari pra pemicuan, pemicuan dengan tools CLTS hingga pasca pemicuan. Tahap pra pemicuan memegang peran yang tak kalah penting. Tahap ini merupakan kunci menuju target sasaran. Bagaimana mengadvokasi pemerintah desa dan kecamatan, menentukan lokasi sasaran, menyiapkan strategi pemicuan hingga menentukan waktu dilaksanakannya pemicuan.
Pemicuan CLTS bukan hanya sekedar melakukan pemetaan, transect walk, identifikasi alur kontaminasi, dsb. Semua itu merupakan alat untuk memicu masyarakat, bukan semata-mata tahapan yang harus dilalui. Fasilitator harus terampil menggunakan alat-alat itu. Keterampilan fasilitator ditentukan oleh jam terbang. Semakin sering mereka memicu, kemudian memetik pembelajaran untuk diterapkan dalam pemicuan selanjutnya, maka mereka akan semakin terampil dan kaya pengalaman.
Tindak lanjut pemicuan bukan tanggung jawab fasilitator semata. Perlu keterlibatan semua elemen masyarakat. Mulai dari perangkat desa, tokoh agama, tokoh masyarakat, local government, lintas sektor, lintas program dan stakeholder lainnya. Pada komunitas ODF ketiga komponen (demand, supply dan enabling environment) berjalan sinergis. Terjadi komunikasi yang intens dengan masyarakat sasaran. Komunikasi tersebut akan diwujudkan dalam serangkaian aksi, misalnya : upaya promosi kesehatan, peningkatan akses masyarakat terhadap layanan sanitasi, pembiayaan pembangunan sanitasi, monitoring berkala, dukungan stakeholder hingga penyusunan regulasi.
Pemicuan CLTS tidak akan berhasil tanpa adanya aksi tindak lanjut. CLTS merupakan satu-satunya entry point dalam upaya perubahan perilaku masyarakat. Metode CLTS sangat sakti, tetapi CLTS bukan magic yang dalam sekejap mata mampu mengubah perilaku warga. Perlu serangkaian proses yang mengiringinya.

MERENUNGI DEKLARASI



Apa yang ada dalam benak anda ketika mendengar kata “deklarasi ODF” ? Pasti yang terbayang adalah suatu event seremonial yang dihadiri pejabat penting seperti Bupati dan Gubernur. Event dimana masyarakat berikrar bahwa mereka telah 100% menggunakan jamban sehat dan berjanji tidak akan kembali ke kebiasaan BABS. Berita deklarasi selalu menjadi berita yang menggembirakan, bahkan cenderung “ngangeni”. Ada semacam suntikan energi baru buat kita untuk terus berkarya. Event itu menyadarkan kita bahwa masyarakat di komunitas akar rumput masih sangat powerfull untuk mengubah nasibnya sendiri.
Ketika Anda datang berkunjung ke komunitas ODF beberapa waktu kemudian, lalu Anda menemukan bahwa ternyata masih ada warga yang BAB di sungai atau kebun, apa yang Anda pikirkan ? Pasti Anda berpikir “mengapa komunitas seperti ini ddideklarasikan ?” Pernahkah kita merenungi bagaimana proses menuju deklarasi ? Apakah kita juga memahami esensi dari deklarasi itu sendiri ?
Deklarasi memang merupakan media advokasi efektif untuk menggalang dukungan politis dari pengambil kebijakan terhadap program. Juga sebagai sarana provokasi pada masyarakat komunitas lain untuk mencapai keberhasilan yang sama. Deklarasi bisa dikatakan sebagai wujud kebanggaan dan tonggak keberhasilan masyarakat dalam bergerak menuju perubahan hidup yang lebih sehat. Tetapi apa jadinya jika deklarasi digunakan untuk kepentingan politis satu dua orang semata ? Atau hanya untuk memenuhi persyaratan suatu project ? Dimana tidak ada pergerakan masyarakat, bahkan ada paksaan bagi warga untuk sekedar membuat jamban, bukan berubah perilaku. Tentu saja status ODF yang dicapai pada saat itu adalah ODF semu, yang hanya bisa bertahan beberapa saat saja. Masyarakat merasa tidak memiliki status ODF itu sehingga tidak merasa bertanggung jawab untuk mempertahankannya. Proses pergerakan masyarakat yang masif disertai tekad kuat untuk berubah perilaku, pasti akan membuat deklarasi lebih bernyawa.
Mempertahankan status ODF jauh lebih sulit dibandingkan mencapainya. Karena dalam proses mempertahankan tersebut, perlu ada perbaikan kualitas untuk membuatnya semakin langgeng. Deklarasi bukan akhir tujuan, tetapi merupakan awal proses menuju perubahan hidup yang lebih sehat. Perlu serangkaian inovasi dan kontrol sosial untuk mempertahankannya. Tentunya kita tidak ingin jerih payah kita sia-sia bukan ?

Pembekalan Monitoring Kader Puskesmas Klungkung 2




Klungkung, kabupaten dengan wilayah terkecil di Propinsi Bali ini mencoba membuat terobosan. Dikatakan terobosan karena hal ini baru pertama kali dilakukan di kabupaten tersebut. Terobosan tersebut lebih tepatnya dibuat oleh Puskesmas Klungkung II. Dengan pertimbangan kebutuhan data yang valid dan keterbatasan sumber daya yang dimiliki staf Puskesmas, maka dimotori  oleh Kepala Puskesmas, drg. Wayan Jaya Putra, Puskesmas Klungkung II mengadakan Pembekalan Monitoring untuk Kader. Selama ini monitoring dilakukan langsung oleh Sanitarian tanpa melibatkan kader.
Kegiatan ini dilaksanakan dengan memanfaatkan dana BOK. Diikuti oleh 15 orang kader dari 6 desa, pembekalan dilaksanakan pada tanggal 23 Februari 2012 di Aula Puskesmas Klungkung II. Bertindak sebagai fasilitator yaitu tim fasilitator STBM Kabupaten Klungkung. Kader dibekali keterampilan mengisi format verifikasi dan kartu rumah. Dalam proses kegiatan, kader melakukan praktek monitoring dengan mengunjungi rumah warga di sekitar Puskesmas.
Dalam dana BOK TA 2012, dialokasikan anggaran untuk pengganti transport sebesar lebih kurang Rp. 3 juta. Anggaran tersebut untuk menunjang operasional kader. Nantinya penugasan kader akan diperkuat dengan SK Camat Klungkung agar lebih mengikat. Kepala Puskesmas berencana menganggarkan kegiatan ini setiap tahun. Harapannya semakin banyak jumlah kader yang terlibat maka semakin banyak pula pelaku monitoring yang dapat menghasilkan data reliable. Dengan demikian beban tugas Sanitarian akan lebih ringan dan update data dapat lebih sering dilakukan.

STBM Baru Lahir Di Bali



Judul diatas mungkin terkesan sedikit aneh mengingat semakin banyaknya penggiat STBM di Indonesia. Di propinsi lain, misalnya Jatim dan NTB mungkin nama CLTS jauh lebih populer dibandingkan dengan nama STBM itu sendiri. Di Bali, CLTS dan STBM benar-benar merupakan “barang baru” bagi sanitarian dan Dinas Kesehatan.  Beberapa orang sanitarian, pernah memperoleh informasi mengenai pendekatan CLTS pada tahun 2006. Tetapi untuk selanjutnya informasi tersebut menempati layer paling bawah dalam ingatan mereka. Hal ini disebabkan tidak adanya payung hukum yang sifatnya mengikat dan tidak ada tindak lanjut pasca sosialisasi CLTS tahun 2006.
STBM dikenal di Bali pada pertengahan tahun 2011. Diawali dengan kegiatan sosialisasi STBM pada bulan Oktober 2011 yang dilanjutkan dengan 3 tahap kegiatan pelatihan fasilitator dan ToT STBM tingkat propinsi.
Tabel 1. Kegiatan Pelatihan Fasilitator dan ToT STBM Prop. Bali
TANGGAL
KEGIATAN
JUMLAH
UNSUR
15-18 Oktober 2011
Pelatihan Fasilitator Kab. Badung
25 orang
Dinkes kabupaten (PL dan Promkes), TP PKK, sanitarian, petugas promkes Puskesmas, perangkat desa, kader, Universitas Udayana, LSM Balifokus, Poltekkes Denpasar
24-27 Oktober 2011
Pelatihan Fasilitator Kab. Bangli dan Karangasem
20 orang
Dinkes kabupaten (PL dan Promkes), TP PKK, sanitarian, petugas promkes Puskesmas, perangkat desa, kader
28 Oktober – Desember 2011
ToT STBM tingkat Propinsi
58 orang
Seksi PL Dinkes Kabupaten, Sanitarian, stakeholder propinsi (Promkes, BLH, Diknas, PKK)

Saat ini fasilitator STBM tersebar di 9 kab/kota di Bali. Dinas Kesehatan Prop. Bali mempunyai misi meningkatkan pengetahuan dan keterampilan memicu pada  115 petugas Puskesmas se-Propinsi Bali. Pelatihan fasilitator akan dilaksanakan pada tahun 2012 dengan target 80 desa dipicu. Refresh fasilitator dialokasikan untuk meningkatkan kapasitas fasilitator terlatih dan meningkatkan kualitas pemicuan. Hingga saat ini pemicuan sudah dilaksanakan di 8 komunitas dan 6 SD.


Pelatihan Fasilitator Kab. Bangli & Karangasem 24-27 Nov 2011



Tantangan yang dihadapi dalam implementasi STBM di Bali yaitu :
a.         Kelembagan Pokja AMPL propinsi yang masih lemah
b.        Informasi mengenai STBM belum ditangkap secara menyeluruh di tingkat Puskesmas
c.         Minimnya anggaran sanitasi kabupaten

Potensi yang ada di Bali yaitu :
a.       Komitmen yang tinggi dari Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinkes Kabupaten untuk akselerasi pencapaian target MDG’s
b.      Ikatan antar warga dengan banjar yang kuat
c.       Kultur masyarakat yang homogen dengan konsep nilai dan adat yang mengakar kuat
d.      Organisasi sosial kemasyarakatan, media lokal, LSM dan kalangan akademisi yang siap menjadi penggiat STBM
e.      Desa tradisional (Misal : Desa Panglipuran, Kab. Bangli) sebagai contoh desa dengan tatanan adat dan masyarakat yang menerapkan PHBS

Desa Panglipuran Kab. Bangli

Tentunya dengan mengoptimalkan segenap potensi yang ada, tantangan yang dihadapi akan terjawab. Dan Bali siap mengejar ketertinggalannya. Kapan STBM harus dilaksanakan ? Sekarang juga !