Minggu, 03 Maret 2013

Korek Api Itu Sudah Mengering



Hari itu, Senin tanggal 17 Januari 2008 ToT fasilitator Kab. Sumenep melaksanakan praktek lapangan di 7 desa. Salah satu desa praktek yaitu Desa Larangan Perreng Kec. Pragaan. Saya diminta untuk mendampingi peserta pelatihan (trainee) melakukan pemicuan di desa tersebut. Trainee terdiri dari 5 orang (sayang saya lupa nama mereka).

Kami tiba di balai desa pukul 09.30 WIB. Setibanya di sana kami langsung melaksanakan tahapan proses pemicuan. Dusun yang kami jadikan sasaran adalah Dusun Lembenah. Warga sebenarnya antusias sekali terhadap proses pemicuan dalam artian tidak ada kevakuman komunikasi antara fasilitator dengan warga. Tapi sayangnya trainee tidak bias menggiring warga mencapai klimaks sehingga diskusi hanya adem ayem saja (kurang greget). Saya sendiri sebagai pendamping tidak ingin mengambil alih jalannya proses karena akan membuat komunikasi antara warga dengan fasilitator menjadi terputus dan tidak focus yang membuat warga kebingungan. Akhirnya saya biarkan saja proses itu mengalir.

Setelah transect walk kami kembali ke balai desa untuk melakukan tahapan pembangunan komitmen warga. Pada saat itu seseorang bernama Sadin tiba-tiba angkat bicara. Dia adalah alumnus Universitas Trunojoyo tapi tidak mengaku, bahkan mengaku bahwa ia tidak punya jamban. Dia berusaha memprovokasi warga. Sebenarnya maksudnya baik, dia ingin memperjuangkan warga agar mendapat subsidi untuk membangun jamban. Tapi bukankah pemberian subsidi menyalahi prinsip TSSM ? Para trainee pun langsung terkesiap. Mereka tidak siap menghadapi serangan Sadin. Akhirnya dengan terpaksa saya ambil alih jalannya diskusi. Saya menganggap bahwa dengan berteriaknya Sadin adalah peluang bagus untuk menghidupkan diskusi sehingga warga terbuka wawasannya sehingga akan mempermudah upaya pembangunan komitmen. Bukankah konflik tidak untuk dihindari tetapi untuk dikelola ? Terjadi diskusi yang alot.

Sadin            : Anda datang kesini hanya menambah masalah kami saja.
Fasilitator      : Bukankah sebelum kami kesini masalah itu sudah ada ?
Sadin            : Ya, tapi semua perbuatan pasti ada akibatnya.
Fasilitator      : Akibat apa ?
Sadin           : Memang setelah masyarakat tidak BAB sembarangan akan ada pihak yang dirugikan. Di desa ini ayam-ayam makan tai manusia. Termasuk juga ayam saya. Kalau warga BAB di jamban mau makan apa ayam saya ?
(Menggelikan sekali, ternyata Sadin lebih cinta pada ayamnya daripada warga)

Fasilitator   : Tadi dikatakan warga harus BAB di jamban. Saya menganggap itu solusi dari warga. Dari omongan Pak Sadin saya mau tanya pada Pak Ustad, apa ada doa BAB di sungai ?
Warga          : Ada….!!!!!
Fasilitator        : Kalau ada bagaimana doanya ?
Istri Kades      : Ya nggak ada. Anak kecil saja tau. Sudah diajarkan waktu ngaji. Masak kalah sama anak kecil. Kebersihan itu sebagian dari iman. Ya caranya dengan BAB di jamban.
Fasilitator        : Trima kasih Bu Kalebun atas masukannya. Bagaimana dengan warga lain ? Tadi kami sudah mengatakan bahwa jika BAB sembarangan adalah masalah bersama, bagaimana cara mengatasinya ? Apakah warga akan membiarkan saja dan tidak mau berubah ? Jika ingin berubah, bagaimana caranya ? Kami kesini tidak membawa subsidi. Kami kesini hanya untuk belajar bagaimana keadaan warga, lingkungan dan kesehatan masyarakat di desa ini. Termasuk bagaimana cara warga mengatasi masalah kesehatannya. Semuanya itu kembali pada warga. Kami tidak berhak memberikan jalan keluar karena kami kesini hanya untuk belajar.

Setelah diskusi itu warga masih belum berkomitmen untuk ODF. Akhirnya kami mohon diri dan meminta perwakilan warga untuk hadir keesokan harinya di Gedung PKK, tempat pelatihan dilaksanakan.

Keesokan harinya, Jumat tgl 18 Januari 2008 dilaksanakan kompetisi desa yang sudah dipicu pada saat praktek kemarin. Hari ini juga merupakan hari terakhir pelatihan. Ada 7 kelompok yang merupakan perwakilan dari 7 desa. Saat itu terjadi sharing dan provokasi antar desa. Tetapi pada hari itu Desa Larangan Perreng belum berkomitmen untuk ODF. Jika meminjam istilah Kamal Kar, reaksi warga pada pemicuan kemarin seperti korek api basah. Hari ini pun korek api itu masih basah.

Satu minggu kemudian, ketika saya sudah kembali ke Bangkalan, tempat saya bertugas, saya mendapat kabar dari Sdr. Fathoni (DF Sumenep) bahwa sudah ada 15 orang yang membangun jamban di Desa Larangan Perreng. Kabar yang cukup menggembirakan tentunya.

Tepat satu bulan setelah pemicuan, tepatnya tanggal 17 Februari 2008, saya ikut tim regional melakukan monitoring. Dan hasilnya sangat mencengangkan sekaligus menggembirakan. Dusun Lembenah sudah hamper ODF. Benar-benar gerakan yang cepat sekali. Yang juga mengejutkan, Sadin yang tadinya provokator berubah menjadi promoter. Meskipun dengan berat hati ia harus mengorbankan ayam-ayamnya. Warga termiskin di desa ini sudah membuat jamban dan dijadikan pemicu bagi warga yang lain.

Satu bulan kemudian, tanggal 18 Maret 2008, saya ikut lagi dalam kegiatan monitoring. Desa Larangan Perreng sudah bersiap-siap menuju ODF desa. Bahkan warga menganggap bahwa dengan mempunyai jamban mereka merasa kaya. Mereka menganggap bahwa jamban adalah investasi. Monitoring ini diikuti oleh Dinkes, Infokom dan LSM Insani. Bapak Tajul Arifin dari LSM Insani merasa takjub, bagaimana mungkin pergerakan bias secepat ini padahal non subsidi ? Beliau yang sering menangani program pemberdayaan, misalnya P2KP seringkali kesulitan karena kesadaran masyarakat baru muncul setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Padahal program itu menyediakan subsidi. Jangankan Pak Tajul, kami yang bertindak sebagai fasilitator TSSM saja merasa terheran-heran, tidak menyangka hasilnya akan seperti ini. Warga yang tadinya tidak merespon berubah menjadi suatu gerakan cepat yang kalau boleh saya bilang, ini gerakan revolusi karena dilakukan secara serentak dalam waktu singkat. Korek api yang basah itu sekarang sudah mengering, menjadi percikan dan bersiap-siap membakar POM Bensin.

0 komentar:

Posting Komentar